Pemuda Desa Ikuti Pertukaran Pemuda Antar Provinsi

5 Sigit Nurmiarto3PURBALINGGA – Sigit Nurmiarto (18) seorang pemuda desa warga RT 8/III Desa Meri, Kecamatan Kutasari, Purbalingga, tak menyangka bisa sampai berada di Desa Taluduyunu, Kecamatan Buntulia Utara, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo. Ia bahkan baru pertama kali pergi ke luar Jawa, dan baru kali pertama pula naik pesawat terbang. Pengalaman Sigit itu diperoleh setelah mengikuti program Pertukaran pemuda Antar provinsi (PPAP).

Sigit berada di Desa Taluduyunu, mulai tanggal 3 hingga 27 November 2014. Ia menjadi salah satu pemuda dari 20 pemuda pemudi terpilih di Jateng dalam kegiatan itu. Dalam program itu, Provinsi Jateng bermitra dengan Kalimantan Tengah, Maluku Utara, Riau dan Gorontalo. Di desa itu Sigit bergabung bersama empat pemuda lainnya dari Jateng dan 15 lainnya dari provinsi mitra. “Saya sangat senang sekali bias mengikuti program itu. Ini baru kali pertama mengikuti seleksi dan jadi peserta terbaik saat seleksi di tingkat Jateng,” kata anak pertama dari tiga bersaudara ini.

Sigit mengungkapkan, saat mengikuti seleksi dirinya mendapat rekomendasi dari alumni peserta PPAP yang tergabung dalam Purna Prakarya Muda Indonesia. Sigit semula tidak yakin akan bias lolos, karena se-Jateng ada 85 orang yang mengikuti seleksi. Dari Purbalingga sendiri ada dua orang, namun satu orang putri tidak lolos. Sigit yang terbilang paling muda menjadi peserta terbaik dan berhak mengikuti PPAP. Sebelumnya, Sigit juga harus mengikuti Jambore Pemuda Indonesia (JPI) yang dipusatkan di Candi Prambanan pada bulan Oktober. Usai dari JPI, Sigit langsung diberangkatkan ke Gorontalo.

Di Gorontalo, Sigit tinggal dan berbaur dengan warga desa disana. Selain bergaul bersama para pemuda disana, Sigit juga mengikuti berbagai kegiatan seperti seni, bakti sosial, kunjungan wisata, olah raga, mengajar menari, mempelajari budaya dan sejumlah kegiatan lain. “Ketika di Gorontalo, saya jadi semakin terbuka jika Indonesia sangat luas dan sungguh luar biasa. Dengan Bhineka Tunggal Ika, mampu menyatukan adat istiadat dan latar belakang yang berbeda di seluruh Indonesia,” ujar anak pasangan  Maskun dan Tarminah ini.

Ketika tampil membawakan tarian, Sigit boleh dibilang tidak canggung. Lulusan SMKN 1 Kutasari ini sedikit banyak mendapat darah seni dari ayahnya yang berprofesi sebagai dalang dan tukang sablon. “Disana saya tampil dihadapan camat, bupati dan warga disana. Saya harus bisa bermain drama, menari dan bernyanyi,” ujarnya.

Ada satu hal unik yang dijumpai di sebuah tempat di desa itu. Hampir sebagian warganya tidak bisa berbahasa Indonesia. Namun, warga disana sedikit mampu berbahasa Perancis. Ternyata, warga disana cukup lama berinteraksi dengan ilmuwan Perancis yang tinggal di wilayah itu dan melakukan riset tentang manusia ikan. “Ketika diajak berbahasa Indonesia malah tidak bisa. Tapi mereka justru bias berbahasa Perancis,” ujar Sigit yang kini bekerja honorer sebagai staf tata usaha di SDN 2 Karangcegak.

Dari sisi makanan, saat awal tiba memang harus menyesuaikan diri. Warga di Gorontalo cenderung senang makanan pedas. Dari sisi harga, bisa tiga kali lipat harga di Jawa. Jika satu mangkuk bakso di Purbalingga cukup dengan Rp 10 ribu, namun di Gorontalo antara Rp 25 ribu – Rp 35 ribu.

Dari serangkaian kegiatan yang didapat di Gorontalo, Sigit mengaku dapat menambah ilmu dan pengalaman. “Saya semakin percaya diri dan ingin menjadi pemuda yang berguna bagi bangsa,” ujarnya. (y)

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *