Festival Gunung Slamet, Ritual Pengambilan Air Tuk Sikopyah Tanamkan Cinta Lingkungan

PURBALINGGA – Ritual pengambilan air dari mata air (Tuk) Sikopyah yang sudah menjadi tradisi masyarakat di Desa Serang Kecamatan Karangreja setiap memperingati tahun baru Hijriah tak sekadar ritual budaya semata. Namun ritual yang kini dilakukan oleh ratusan masyarakat setempat sejatinya menanamkan semangat cinta lingkungan dan melestarikan alam sumber kehidupan.

Kepala Desa Serang, Sugito mengaku, keberadaan air Tuk Sikopyah sangat bermanfaat bagi kehidupan bukan saja warga desa Serang. Namun air Tuk Sikopyah tersebut telah dimanfaatkan oleh hampir 10 ribu warga di tiga desa yakni Serang dan Kutabawa, Kecamatan Karangreja, Purbalingga serta D esa Gombong Kecamatan Belik, kabupaten Pemalang.

Tradisi pengambilan air Tuk Sikopyah selain menjadi upaya pelestarian budaya dan pariwisata  juga pelestarian lingkungan. Setelah adanya FGS sebagai kegiatan budaya, kita perkuat dengan adanya peraturan desa yang mewajibkan seluruh komponen warga untuk menjaga kelestarian mata air Sikopyah. “Sanksi bagi yang melanggar Perdes dan tetap menebang pohon dilingkungan Sikopyah, kita kenakan denda Rp 5 juta,” kata Sugito disela-sela prosesi pengambilan air Sikopyah pada rangkaian Festibval Gunung Slamet ke-4, Jum’at (28/9).

Intinya, lanjut Soegito, daerah disekitar mata air Sikopyah harus tetap hijau dan mampu menjadi sumber kehidupan masyarakat disekitarnya.

Sementara itu, menurut tokoh desa setempat Kyai Samsudin (61), tradisi meruwat mata air Sikopyah sudah dilakukan sejak lama. Sejak dirinya masih kecil, lanjut Samsudin, masyarakat sudah melakukan tradisi pengambilan air Tuk Sikopyah. “Sekarang sudah tiga kali dilakukan dalam skala lebih besar,” katanya.

Dikatakan Kyai Samsudin, menurut sejarahnya, sumber Tuk Sikopyah merupakan peninggalan dari tokoh penyebar agama Islam di wilayah itu, Mbah Haji Mustofa yang memiliki padepokan di salah satu pedukuhan Gunung Malang, Serang. Saat Haji Mustofa bertapa atau semedi di tempat itu, ia sempat berwudhu. Selesai wudhu, kopiahnya (peci) sempat tertinggal. “Namun ketika H Mustofa kembali lagi untuk mengambilnya, kopiah tersebut sudah tidak ada. Dari situlah, menurut cerita, sumber air yang ada kemudian diberi nama sumber Sikopyah,” jelasnya

Menurut Kyai Samsudin, pesan-pesan melestarikan lingkungan dan memperbanyak shalawat menjadi pesan inti dalam setiap penyelenggaraan ritual air Tuk Sikopyah. “Pesan-pesan itu sudah ada secara turun temurun, dan dipercaya oleh masyarakat disini. Makanya ada tradisi seperti ini, sampai sekarang,” jelasnya.

Plt Bupati Purbalingga Dyah Hayuning Pratiwi, SE, B.Econ, MM mengatakan, kegiatan Festival Gunung Slamet (FGS) yang sudah menjadi agenda tingkat kabupaten, tidak saja bertujuan membangun silaturahmi dan kebersamaan, namun menjadi upaya bagaimana mengajak kaum muda untuk melestarikan alam semesta.

“Hari ini tidak sekadar melihat anak-anak muda kita datang ke Sikopyah, mengambil air menggunakan Lodong (tempat air dari bambu-red) dan nantinya dibagikan kepada masyarakat. Tapi ini mengandung pengertian bahwa anak-anak muda kita juga harus berperan bagaimana kedepan lingkungan ini harus lestari. Kita tanamkan pengertian itu melalui ritual ini,” kata Dyah Hayuning Pratiwi. (y)

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *